Friday, 31 December 2010

Surat terbuka Warga Malaysia

TOMORROW, we celebrate Merdeka, and the symbol of sovereignty and our pride — the Jalur Gemilang — has been stamped on, burnt and spat at by citizens of our supposedly closest neighbour. Not only did they storm our embassy, they threw faeces into its compound.
It hurts so bad that Indonesians, whom we regard as Muslim brothers, are doing it in the holy month of Ramadan — in a fortnight we’ll be celebrating Hari Raya Aidilfitri — a month of goodwill and forgiveness. The nationalistic People’s Defence of Democracy (Bendera) is growing bolder by the day. Similar demonstrations were held in Bandar Aceh and Pekanbaru in Sumatra.
This is the same group which threatened to attack us with sticks and stones last year over our alleged ill-treatment of Indonesian maids. This time it was about our supposed cruelty towards the three Indonesian maritime officers detained by our authorities on Aug 13.
Bendera is on a “Ganyang Malaysia” rampage, shouting “Malingsia” (Maling is “thief” in Javanese). It even had the audacity to threaten to shave the heads of our people there before deporting them home.
It’s clear that there are underlying issues that caused them to act with such bravado.
The group would not have had the gumption to protest outside the Petronas office and CIMB-Niaga Bank there without the tacit approval of some unseen hands.
Things are beginning to surface, with politicians and members of parliament of both sides of the Indonesian political divide supporting the movement. They are demanding that their government cut all diplomatic and trade ties with us. Their media are fanning the anti-Malaysia sentiment.
One wonders why the protesters were not tear-gassed for trying to ram our embassy barricade. Some arrests were made but they were all released.
We have been noble in not retaliating in our country. It’s a wise move because we do not want the backlash of the two million Indonesians, legal and illegal, in our country. But how long can we exercise self-restraint? I fear we being nice is seen as a weakness.
I worry for the safety of Malaysians there. We must recall our ambassador, embassy staff and evacuate all our students and other Malaysians there. Let them celebrate Hari Raya in peace and calm.
We must also stop visiting Indonesia for the time being. When things are more peaceful, they can go back to Indonesia.
The protests are nothing more than an arrogant display of who is bigger and stronger. It may be an empty threat and probably poses no immediate risk to our citizens but our sovereignty and dignity have been compromised.
Indonesia owes us an apology.
Terjemahnya :
“Besok, kita merayakan hari kemerdekaan. Tapi simbol kedaulatan dan kebanggaan kita, Jalur Gemilang; diinjak, dibakar, dan diludahi oleh warga negara yang kita anggap sebagai tetangga terdekat. Mereka bahkan melempar tinja ke kedutaan besar kita.
Ini sangat menyakitkan, bahwa warga Indonesia–yang adalah saudara muslim kita–melakukannya di bulan suci Ramadhan, jelang umat muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri; sebuah hari yang penuh kebaikan dan maaf.
Massa Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) bahkan makin berani hari ke hari, mereka berdemonstrasi serupa di Banda Aceh dan Pekanbaru.
Bendera adalah kelompok yang sama yang mengancam untuk menyerang kita dengan tongkat dan batu tahun lalu–ketika tuduhan perilaku buruk kepada pembantu asal Indonesia diarahkan pada kita. Kali ini mereka menggunakan isu penangkapan tiga staf pemerintah oleh aparat Malaysia, 13 Agustus lalu.
Bendera berteriak-teriak ‘Ganyang Malaysia’ dan ‘Malingsia’. Bahkan mereka mengancam menggunduli warga negara Malaysia sebelum mengirim mereka pulang. Jelas sekali, ada sesuatu yang mendasar yang menyebabkan mereka berani bertindak seperti itu.
Kelompok ini tidak akan punya keberanian untuk mendemo Petronas dan Bank CIMB Niaga tanpa ada persetujuan diam-diam dari beberapa tangan yang tak terlihat.
Isu juga dipanaskan politisi dan anggota parlemen di Indonesia. Mereka justru mendukung gerakan seperti itu. Mereka bahkan meminta pemerintah memutus hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Malaysia. Sementara media massa Indonesia jadi ‘kipas’, makin memanaskan sentimen anti-Malaysia.
Kita bertanya-tanya, mengapa aparat Indonesia tidak mencegah pengunjuk rasa menyerang kedutaan Malaysia. barikade, atau gas air mata misalnya. Memang ada yang ditangkap, tapi semuanya dilepaskan.
Kita, orang Malaysia, sudah bertindak mulia dengan tidak membalas tindakan itu. Ini langkah bijak karena kita tak ingin ada serangan balik dari 2 juta penduduk Indonesia, legal atau ilegal, yang ada di negara kita. Tapi berapa lama kita harus menahan diri?
Saya takut, kebaikan kita dianggap sebagai kelemahan.
Saya khawatir atas keselamatan orang Malaysia di Indonesia. Kita harus segera memulangkan duta besar, staf kedutaan, dan semua mahasiswa Malaysia di sana. Memberi kesempatan pada mereka merayakan Idul Fitri dengan damai dan tenang.
Kita juga harus menghentikan kunjungan ke Indonesia saat ini. Nanti, ketika situasi sudah damai kembali, mereka bisa kembali ke Indonesia.
Aksi protes tidak lebih dari sebuah tampilan arogan yang terus tumbuh besar dan kuat. Ini mungkin hanya ancaman kosong dan mungkin tidak menimbulkan risiko untuk warga negara kita. Tapi, bagaimanapun, kedaulatan dan martabat kita telah diganggu.
Indonesia berutang kata maaf.

No comments:

Post a Comment

follow @Apaajaboooleh on twitter
kritik , saran dan masukan.. kirim ke apaajabooooleh@gmail.com..:)