Tuesday, 27 December 2011

Melihat Sejarah Majalah Tempo

Tempo, majalah mingguan ini terbit perdana pada April 1971 dengan berita utama mengenai cedera parah yang dialami Minarni, pemain badminton andalan Indonesia di Asean Games Bangkok, Thailand. Dimodali Rp 20 juta oleh Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra; digawangi oleh mereka para seniman yang mencintai pekerjaannya dan para wartawan berpengalaman yang dipecat atau keluar dari tempat kerja sebelumnya: Ekspress, Kompas, dan lainnya.

Para seniman dan wartawan itu adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Satu orang kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya juga turut serta mengelola Tempo, yaitu Eric Samola.

Mengapa bernama Tempo? Pertama, singkat dan bersahaja, enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala jurusan; kedua, terdengar netral, tidak mengejutkan dan tidak merangsang; ketiga, bukan simbol sebuah golongan, dan keempat, Tempo adalah waktu.

Tempo meniru Time? Benar Tempo meniru waktu, selalu tepat, selalu baru. Kalimat ini diiklankan Tempo pada terbitan 26 Juni 1971 guna menjawab surat seorang pembaca yang berkesimpulan bahwa Tempo telah meniru Time. Kesimpulan yang wajar melihat sepintas cover Tempo memang mirip Time: segi empat dengan pinggiran merah. Bahkan, pada 1973, Time menggugat Tempo melalui pengacara Widjojo, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan damai.



Edisi pertama Tempo laku sekira 10.000 eksemplar. Disusul edisi kedua yang laku sekira 15.000 eksemplar. Progress penjualan oplah ini menepis keraguan Zainal Abidin, bagian sirkulasi Tempo, yang menganggap majalah ini tidak akan laku. Selanjutnya, oplah Tempo terus meningkat pesat hingga pada tahun ke-10, penjualan Tempo mencapai sekira 100.000 eksemplar.

Dalam perjalanannya, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Tempo antara Goenawan dengan Bur. Keduanya memiliki perbedaan ide dasar. Goenawan ingin Tempo bergaya tulis feature (bercerita), sedangkan Bur cenderung ke news. Keduanya pun sering berbeda paham dan saling bertolak pendapat.



Puncaknya pada saat Bur melemparkan air kopi ke arah Goenawan. Tindakan yang dianggap kelewatan oleh Goenawan hingga dia meminta kepada Eric Samola untuk memutuskan, apakah dia yang keluar atau Bur. Akhirnya Bur yang mengundurkan diri dari Tempo.

Pembredelan I

Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun, Tempo dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota.

Diduga, pembredelan tersebut terjadi karena Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut.

Pada 7 Juni 1982, pembredelan Tempo dicabut setelah Goenawan membubuhkan tanda tangan di secarik kertas. Secarik kertas itu berisi permintaan maaf Tempo dan kesediaan untuk dibina oleh pemerintah. Waktu itu, Goenawan tidak punya pilihan lain memang.

Wartawan Eksodus

Prahara kembali berguncang di tubuh Tempo pada 13 Juli 1987. Sebanyak 31 wartawan ramai-ramai keluar (eksodus). Alasannya: kesejahteraan dan pola manajemen yang tidak transparan. Mereka yang keluar diantaranya Syu’bah Asa, Edy Herwanto, Saur Hutabarat, Marah Sakti Siregar, dan Achmad Luqman. Mereka kemudian mendirikan majalah Editor, saingan Tempo.

Goenawan sangat sedih dengan kejadian itu. Selanjutnya, pembenahan manajemen pun dilakukan dan kesejahteraan karyawan juga diperhatikan. Konflik dianggap sebagai momentum untuk membenahi kekurangan. “Yang bagus bukanlah organisasi yang sempurna, tapi organisasi yang selalu dengan teratur dan dengan ‘tak terlalu sulit disempurnakan, diperbaiki,” kata Goenawan.

Pada 1990, eksodus kembali terjadi. Sebanyak 20 wartawan spontan keluar. Ada yang mendirikan majalah baru, Prospek, yang dimodali pengusaha Sutrisno Bachir; ada yang bergabung ke harian Berita Buana.

Alasan utama eksodus kali ini ada dua: pertama, tawaran kesejahteraan dan jenjang karir yang menggiurkan di tempat lain; kedua, beredarnya isu kristenisasi di tubuh Tempo. Khusus kristenisasi, isu agama ini membuat tubuh Tempo menjadi tidak sehat.

Pembredelan II

Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan majalah yang sedang berkembang: Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga, penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.

Kalau dulu syarat terbit kembali sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, kali ini sangat sulit. Keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo.

Jajaran pemimpin Tempo mendiskusikan syarat tersebut. Semuanya kemudian bersepakat untuk menolaknya. Mereka rela Tempo tidak pernah terbit lagi. Ini adalah persoalan integritas diri, alasannya.

Pembredelan tiga media tersebut di atas menyulut pelbagai demonstrasi massa. Salah satunya, demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994 oleh para aktifis, mahasiswa, dan buruh. Di tubuh PWI juga terjadi demonstrasi. Sebagian wartawan seperti Ahmad Taufik, Dita Indah Sari, dan lainnya sepakat untuk mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka menuduh PWI berdiri di bawah ketiak pemerintah.

Walau pun dibredel, Tempo punya cara sendiri untuk tetap eksis dan menyapa pembacanya. Pada 1996, Tempo meluncurkan majalah digital pertama di Indonesia: Tempo Interaktif, melalui situs www.tempo.co.id. Karena beredar di dunia maya, majalah ini lolos dari jangkauan pembredelan.
Meskipun Tempo tetap eksis, sebagian wartawannya tidak tahan hidup tanpa penghasilan yang jelas. Mereka pun keluar: Lukman Setiawan, Mahtoem Mastoem, Harjoko Trisnadi, Herry Komar, Amran Nasution, dan Agus

http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/07/sejarah-majalah-tempo-konflik-dan-pembredelan/

No comments:

Post a Comment

follow @Apaajaboooleh on twitter
kritik , saran dan masukan.. kirim ke apaajabooooleh@gmail.com..:)