Hari Film Nasional
diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret.
Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada
30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah &
Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai oleh Usmar
Ismail. Alasan disakralkannya film “Darah & Do’a” karena film ini
dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan indonesia. Selain itu
inilah film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia
asli dan juga dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia
asli. Perusahaan ini bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional
Indonesia) Usmar Ismail juga pendirinya.
Film Nasional telah disepakati
lahir pada tanggal 30 Maret 1950, namun sebenarnya sejarah pembuatan film cerita di Indonesia yang dulunya
bernama Hindia Belanda, sudah dimulai pada tahun 1926. Bahkan sampai
tahun 1942 industri film lokal sudah cukup berkembang, meskipun masih kalah
bersaing dengan film-film asing terutama dari Amerika. Pada masa itu
para pemilik perusahaan-perusahan film lokal adalah orang-orang Cina
& Belanda. Judul film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini
adalah: “Loetoeng Kasaroeng” yang masih berupa film bisu.
Pemain-pemainya adalah orang-orang pribumi, pembuatnya adalah dua
orang Belanda: G. Krugers & L. Heuveldorf. Ketika film ini dibuat
penduduk di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Surabaya dll sudah
tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan
“Gambar Idoep”. Mereka sudah biasa melihat film-film cerita yang berasal dari
Amerika, Cina dan Belanda. Penduduk Hindia Belanda khususnya warga Batavia untuk
pertama
kalinya bisa menyaksikan film di penghujung tahun 1900.
Awal Pertunjukan Film
Pada 1895 Lumiere
bersaudara (August & Louis) untuk pertama kalinya memutar film di
kota Paris tepatnya
di grand Cafe dengan cara memungut bayaran dari penonton, seperti
halnya sistem pada bioskop saat ini. Sebelumnya mereka telah menemukan
alat perekam
gambar bergerak
(kamera) dan berhasil memperoyeksikannnya kembali, sehingga bisa
disaksikan orang banyak. Film-film yang ditampilkan adalah rekaman
kehidupan sehari-hari warga kota Paris seperti buruh-buruh yang
keluar dari
pabrik dan seorang ibu yang sedang memberi makan bayinya. Yang paling
membuat kegaduhan adalah rekaman gambar kereta yang berjalan ke arah
layar. Ketika kereta semakin “mendekati” layar, penonton pun dibuat panik,
mereka merasa kalau kereta tersebut akan menabraknya.
Film akhirnya semakin berkembang khusunya di Eropa
termasuk Belanda. Kemudian film mulai di eksport ke koloni-koloni bangsa Eropa.
Tentunya Belanda mengirimnya ke Hindia Belanda.
Gambar Idoep tiba
di Betawi
Tanggal 5 Desember 1900 warga
Betawi utuk pertama kalinya dapat melihat “gambar-gambar idoep” atau Pertunjukan Film.
Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang ditampilkan
adalah sebuah dokumenter yang terjadi di Eropa & Afrika Selatan, juga
diperlihatkan gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag.
Bioskop yang
terkenal saat itu antara lain adalah dua bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang
Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibagi-bagi
berdasarkan ras, bioskop untuk orang-orang eropa hanya memutar film dari kalangan mereka sementara bioskop untuk pribumi
& tionghoa selain memutar film import juga memutar film produksi
lokal. Kelas
pribumi mendapat sebutan kelas kambing, konon hal ini disebabkan karena mereka sangat
berisik seperti kambing.
Film Cerita Lokal
Pertama
Film cerita lokal pertama
berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita legenda
yang berasal dari Jawa Barat. Pembuatannya dilakukan di Bandung, oleh Perusahan
Film: Java Film Company yang dipimpin oleh G.Krugers dari Bandung
dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok
yang disebutkan sudah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika.
Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, ia adalah adik menantu dari Busse seorang
raja bioskop di Bandung. Penyutradaraan Film ini dilakukan oleh
Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak2 dari bupati Bandung
Wiranata Kusuma II. Hasilnya tergolong sukses, diputar selama satu minggu di
Bandung, antara 31 Desember 1926-6 Januari 1927. Kemudian Java Film Co. membuat film kedua: “Euis Atjih”, perekamannya kembali dilakukan di Bandung. Tidak
seperti “Loetoeng kasaroeng” yang merupakan cerita legenda, “Euis Atjih”
adalah kisah drama modern. Hasilnya juga tergolang sukses.
Setelah orang
Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara, yang
hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang
datang, ia
menyutradarai “Lily van Java” (1928) pada perusahaan South Sea Film Co.
Kemudian kedua adiknya Joshua & Otniel Wong menyusul dan mendirikan
perusahaan Halimoen Film.
Film Bicara
Pada akhir tahun 1929 diputar di sini film-film bersuara
yaitu “Fox Follies” dan “Rainbouw Man” yang merupakan film bicara
pertama yang disajikan di Indonesia. Perkembangan pemutaran film bicara
agak lambat. Sampai tengah tahun 1930, baru sebagian kecil saja bioskop
yang sanggup memasang proyektor film bicara.
Masuknya film bicara sebetulnya menguntungkan
kedudukan film buatan dalam negeri. Karena penonton kalangan bawah semakin kurang
faham menyaksikan film asing. Sebab informasi yang semula hanya
disampaikan dalam bentuk aksi, kini banyak diganti dengan dialog, yang
bahasanya tidak dipahami mereka. Sejak 1931 pembuat film lokal
mulai membuat film bicara. Percobaan pertama yang
antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya: “Bunga Roos dari
Tjikembang”
(1931) hasilnya amat buruk. Film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film
adalah Indonesie Malaise (1931). Sampai 1934 usaha pembuatan film bicara
oleh perusahaan film lokal belum mendapatkan sambutan yang sangat
antusia dari penontonnya sendiri.
Film cerita lokal pertama yang “Meledak”
Nama Albert Balink
tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris,
judulnya “Terang Boelan”. Albert Balink adalah seorang wartawan Belanda yang
tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat
bacaan-bacaan.Pada tahun 1934 Balink mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film
“Pareh”. Untuk mendampinginya didatangkan dari negeri Belanda tokoh
film Dokumenter Manus Franken. Mungkin karena Franken berlatar belakang
dokumenter maka banyak adegan dari film “Pareh” yang menampilkan
keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik
buat penonton film lokal karena sehari-harinya mereka sudah sering melihat
gambar-gambar tersebut. Kemudian Balink membuat perusahaan film “ANIF” (Gedung
perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan
seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen, mereka membuat film “Terang Boelan”
(1934). Hasilnya: inilah Film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari
kalangan penonton kelas bawah.
Film tersebut dibintangi oleh
Miss. Roekiah & R.d Mochtar dimana berkat film “Terang Boelan” ini nama mereka
jadi ikut melambung. Ketika namanya naik Miss. Roekiah sudah
berkeluarga, ia bersuamikan Kartolo (pemain film juga) dan anak mereka
kelak menjadi pemain film terkenal yaitu Rachmat Kartolo. Cerita film “TB” sendiri sebenarnya sangat mirip dengan
film buatan Amerika yang berlatar kepulauan Hawai. Pada film “Terang
Boelan” kostum penduduk pulau SAWOBA (pulau fiktif , SWOBA adalah
singkatan dari: SAeroen, WOng & BAlink) mirip dengan kostum penduduk
kepulauan Hawai yang bisa diliat pada film-film Amerika, jadi bisa dipastikan bahwa film
“TB” adalah hasil adaptasi. Kesuksesan
TB di pasar
menyebabkan pembuat film lain jadi ikut tergiur, maka film-film
selanjutnya banyak yang menggunakan resep “TB”.
Film di bawah
Pendudukan Jepang & Masa Revolusi
Pada 8 Maret 1942
Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Dalam bidang film yang
pertama-tama dilakukan Jepang adalah menutup semua perusahaan film yang
ada, termasuk
2 perusahaan film milik orang Cina yang produktif. JIF dan TAN’s FILM.
Peralatan studio-studio tersebut disita untuk dimanfaatkan pada
pembikinan film berita & penerangan. Dengan di tutupnya studio film
tersebut maka para pengusahanya yang keturunan Cina beralih ke bisnis
lain. Para pemainnya pun yang sebelumnya bergelut di panggung sandiwara
kembali ke bidang tersebut. Pemerintah Jepang memang amat menggalakan
media panggung sandiwara sebagai alat propaganda. Pada masa ini film
cerita diproduksi dibawah pengawasan ketat pemerintah Jepang semua film
harus sejalan dengan keinginan pihak Jepang.
Setelah Jepang
menyerah terhadap sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan
pemerintahan, proklamasi kemerdekaan pun dikumandangkan, namun pihak
Belanda tidak mengakuinya & terjadilah perang sampai 1949. Pada
masa revolusi kemerdekaan ini seorang pemuda yang bernama Usmar
Ismail (kelak akan menjadi tokoh penting Perfilman Nasional) ikut dalam
peperangan ia kemudian ditawan pihak Belanda. Setelah diketahui latar
belakangya oleh pihak Belanda maka ia dipekerjakan pada perusahaan film
Belanda sebagai asisten sutradara. Pada perusahaan film tersebut ia
sempat menyutradarai film “tjitra”.
Hubungan Perfilman Lokal &
Pergerakan Nasional pada zaman kolonial
Film lokal, terutama
pada masa Hindia Belanda dan awal berdirinya Republik ini, ditujukan
untuk masyarakat kelas bawah, sementara kaum pergerakan Nasional adalah
orang-orang terpelajar yang berasal dari kalangan atas. Sepertinya
mereka hidup di dalam dunia yang berbeda. Dimata kaum
terpelajar film lokal dinilai tidak bermutu, baik dari segi teknis
pembuatan maupun cerita. Namun bukan berarti tidak ada persentuhan sama
sekali antara dua dunia ini. Beberapa orang film juga ada yang sepaham
dengan pikiran2 kaum pergerakan nasional ini. Seperti Saeroen
(“sutradara” film “Terang Boelan”) yang dulunya adalah seorang wartawan
pernah menulis di koran “Pemandangan” dengan nama samaran Kampret. Dia
menuliskan suatu kali ia memimpikan berdirinya negara “Republik
Indonesia Serikat” dengan Perdana Menteri: M.H Thamrin, Menteri
Pekerjaan Umum: Abikusno Tjokrosujoso, Menteri Pengajaran: Ki Hajar
Dewantoro, Menteri Penerangan: Parada Haraha. Akibatnya koran
“Pemandangan” dibreidel Pemerintah Belanda.
Kemudian ada seorang
terpelajar yang bernama A.K Gani yang bermain dalam film “Asmara
Moerni”, namun akibat dari perbuatan A.K Gani ini, ia dikecam oleh
kalangan terpelajar/ pergerakan nasional lainnya. Setelah penampilannya di film
tersebut A.K Gani tidak pernah muncul lagi di dunia perfilman.
“Lahirnya” Film
Nasional
Usmar Ismail yang sempat
bekerja untuk perusahaan film Belanda akhirnya keluar dari perusahaan
tersebut karena ketidak-cocokannya dengan sistem yang diterapkan. Ia pun
mendirikan perusahaan film sendiri yang bernama Perfini (Perusahaan
Film Indonesia). Produksi pertama film ini adalah “Darah & Do’a”
atau “The Long March of Siliwangi” yang perekamannya dimulai pada 30
Maret 1950. Film ini mengisahkan tentang perjalanan jauh serombongan tentara
bersama para pengungsi, di dalamnya terjadi saling tertarik hati antar
komando tentara dengan salah satu pengungsi wanita Indo-Belanda, wanita
dari kalangan musuh yang sedang diperangi, ceritanya digarap oleh Sitor
Situmorang. Oleh Usmar Ismail dijelmakan dengan menggunakan pemain baru
sama sekali, tidak menggunakan pemain profesional, rupanya ia anti “Star
System”. 12 tahun sesudah produksi film “Darah & Do’a” tepatnya
pada 11 oktober 1962 konferensi kerja Dewan Film Nasional dengan
organisasi perfilman menetapkan hari shooting pertama film tersebut
yaitu 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Indonesia.
Ketetapan tersebut sempat mendapat perlawanan dari
golongan kiri yang sangat agresif dalam menghadapi pihak yang dianggap
sebagai lawan-lawannya. Pada 1964 golongan kiri membentuk PAPFIAS
(penulis menemukan dua versi arti dari PAPFIAS: yang pertama Panitia
Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat, yang kedua
Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat.)
Golongan kiri melakukan serangan-serangan kepada film Usmar Ismail yang
dianggap tidak nasionalis atau kontra-revolusioner. PKI dan golongan
kiri pun tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film
Nasional, tapi menuntut 30 April 1964 yang dijadikan sebagai Hari Film
Nasional, saat berdirinya PAPFIAS. Pada 1966 terjadi peristiwa Gestapu,
golongan komunis yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini
dihabisi. Artinya wacana penggantian tanggal hari film nasional ikut
lenyap dan tanggal 30 Maret 1950 tetap diakui sebagai hari lahirnya Flm
Nasional sampai saat ini.
http://petualangwaktu.multiply.com/journal/item/2/Sebelum_Lahirnya_Hari_Film_Nasional
|
No comments:
Post a Comment
follow @Apaajaboooleh on twitter
kritik , saran dan masukan.. kirim ke apaajabooooleh@gmail.com..:)